Senin, 25 Maret 2013

polemik kebudayaan


Polemik Kebudayaan

Polemik kebudayaan adalah sebuah perdebatan pendapat kaum intelek yakni  pikiran Tuan Takdir Alisjahbana, Dr.Sutomo, Sanusi Pane, Purbatjaraka, Tjindarbumi, Adinegoro, Dr. M. Amir, dan  Ki Hajar Dewantara yang kala itu saling beradu tentang bagaimanakah sebaiknya Indonesia pada masa yang akan datang agar Merah Putih dapat bekibar lepas di angkasa bumi pertiwi  pada era 30-an yakni pada tahun 1935-an,yang setiap buah pikiran dari tokoh-tokoh perdebatan tersebut kala itu dicurahkan melalui artikel media masa nasional dan ramai menjadi topik pembicaraan rakyat. Perdebatan ini pula yang merupakan salah satu motor terbentuknya latarbelakang cita-cita dan tujuan NKRI. Adapaun yang menjadi Polemik ini bermula dari tulisan Sutan Takdir Alisyahbana Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra-Indonesia (Pujangga baru, 2 Agustus 1935). Ia membedakan "Zaman pra-Indonesia" (yang berlangsung hingga akhir abad ke-19) dan "zaman Indonesia" (yang mulai pada awal abad ke-20). Ia menegaskan tentang lahirnya zaman Indonesia Baru, yang bukan sekali-kali dianggap sambugan dari generasi sambungan Mataram, Minangkabau atau Melayu, Banjarmasin atau Sunda. Karenanya tiba waktunya mengarahkan mata kita ke Barat.

Tulisan ini mendapat tanggapan dari Sanusi Pane dan Poerbatjaraka. Dalam tulisannya yang berjudul Persatuan Indonesia (Suara Umum, 4 September 1935), Sanusi Pane menulis: "Zaman sekarang ialah terusan zaman dahulu....Haluan yang sempurna ialah menyatukan Faust dan Arjuna, memesrakan materialisme,intellectualisme dan individulisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme". Dalam tulisannya yang berjudul "Sambungan Zaman", Poerbacaraka mengatakan, "Pada perasaan saya, yang manfaat buat tanah dan bangsa kita ini, ialah mengetahui jalan sejarah dari dulu-dulu sampai sekarang ini. Dengan pengetahuan ini kita seboleh-bolehnya berusahakan mengatur hari yang akan datang....Dengan pendek kata, janganlah mabuk kebudayaan kuno tetapi jangan mabuk kebaratan juga; ketahuilah dua-duanya itu supaya kita bisa memakainya dengan selamat di dalam hari yang akan datang kelak."
Ringkas cerita, Tuan Takdir Alisjahbana merupakan tokoh yang mengimpikan Indonesia baru yang  condong ke filosofi "barat" , dia berpandangan bahwa:
“Ramuan untuk masyarakat dan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang harus kita cahari sesuai dengan keperluan kemajuan masyarakat Indonesia yang sempurna. Tali persatuan dari bangsa kita teristimewa sekali berdasarkan atas kepentingan bersama itu ialah sama-sama mencari alat dan berdaya upaya agar masyarakat kepulauan Nusantara yang berabad-abad statisch mati ini menjadi dynamisch, menjadi hidup. Sebabnya, hanya suatu masyarakat yang dynamisch yang dapat berlomba-lomba di lautan dunia yang luas. Maka, telah sepatutnya pula alat untuk menimbulkan masyarakat yang dynamisch yang teristimewa sekali kita cahari di negeri yang dynamisch pula susunan masyarakatnya. Bangsa kita perlu alat-alat yang menjadikan negeri-negeri yang berkuasa di dunia yang dewasa ini mencapai kebudayaannya yang tinggi seperti sekarang: Eropa, Amerika, Jepang. Demikian saya berkeyakinan bahwa dalam kebudayaan Indonesia yang sedang terjadi sekarang ini akan terdapat sebagian besar elementen Barat, elementen yang dynamisch. Hal itu bukan suatu kehinaan bagi sesuatu bangsa. Bangsa kita pun bukan baru sekali ini mengambil dari luar: kebudayaan Hindu, kebudayaan Arab. Dan sekarang ini tiba waktunya kita mengarahkan mata kita ke Barat.”
Bagi STA, kebudayaan Timur bersifat statis makanya mati, sementara kebudayaan Barat bersifat dinamis makanya terus eksis dan menguasai dunia. Karenanya, di mata STA, Indonesia sebagai bagian dari Timur harus mengganti kiblatnya ke Barat agar bisa bangkit dan mensejajarkan diri dengan masyarakat Barat. Demikian, “Timur” dan “Barat” dipandang sebagai hakikat yang monolitik.
Sementara itu, Sanusi Pane juga takalah esensialistiknya dalam melihat kebudayaan. Ia misalnya mengatakan:
Barat… mengutamakan jasmani sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani. Timur mementingkan rohani sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.”
Demikian, Sanusi Pane memang memandang bahwa sesuatu yang ideal adalah “menyatukan Faust dengan Arjuna, memesrakan materialisme, intelektualisme, dan individualisme dengan spiritualisme, perasaan dan kolektivisme. “Sungguhpun begitu, sangat tampak kecenderungan Sanusi Pane untuk mempercayai bahwa “Timur lebih baik” karena “materialisme, intelektualisme dan individualisme”-yang merupakan dasar berkembangnya budaya Barat tapi yang juga menimbulkan ketidakadilan (“ada orang yang kebanyakan dan ada yang kelaparan”. Karenanya, Sanusi Pane jelas lebih memilih Timur ketimbang Barat sebagai acuan kebudayan Indonesia di masa depan.
Kesimpulannya. STA merupakan tokoh yang mengimpikan Indonesia baru yang  condong ke filosofi "barat sedangkan tokoh lain disini adalah sosok yang tetap ingin mempertahankan ke-''timur''-an Indonesia,disinilah letak pro dan kontra yang menjadi bibit perdebatan antara Tuan Takdir Alisjahbana dan tokoh-tokoh lainnya. Namun demikian, terlepas dari perbedaan pendapat tersebut,dapat disimpulkan bahwasanya tokoh-tokoh tersebut tetap memiliki tujuan yang sama, yaitu terciptanya Negara Indonesia yang makmur dan megah di mata dunia.




Referensi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar